أَفْضَلُ الصِّيَامِ بَعْدَ رَمَضَانَ شَهْرُ اللَّهِ الْمُحَرَّمُ
وَأَفْضَلُ الصَّلَاةِ بَعْدَ الْفَرِيضَةِ صَلَاةُ اللَّيْلِ
“Puasa yang paling utama setelah Ramadhan adalah puasa di bulan Allah (yaitu) Muharram
dan shalat yang paling utama setelah puasa wajib adalah sholat lail” [ HR. Muslim]
Amalan sholeh dilipatgandakan pahalanya di bulan-bulan haram, dengan demikian secara umum segala jenis kebaikan dianjurkan untuk diperbanyak dan ditingkatkan kualitasnya di bulan Muharram. Adapun ibadah yang dianjurkan secara khusus pada bulan ini adalah memperbanyak puasa sunnah.
Mulla Al Qari’ menyebutkan bahwa
hadits di atas sebagai dalil anjuran berpuasa di seluruh hari bulan Muharram.
Namun ada satu masalah yang kadang ditanyakan berkaitan dengan hadits ini
yaitu, ‘Bagaimana memadukan antara hadits ini dengan hadits yang menyebutkan
bahwa Nabi shallallohu alaihi wasallam memperbanyak puasa di bulan Sya’ban yang
menjadi bulannya Allah, bukan di bulan Muharram? Imam Nawawi rahimahullah telah
menjawab pertanyaan ini, beliau mengatakan boleh jadi Rasulullah shallallohu
alaihi wasallam belum mengetahui keutamaan puasa Muharram kecuali di akhir
hayat beliau atau mungkin ada saja beberapa udzur yang menghalangi beliau untuk
memperbanyak berpuasa di bulan Muharram seperti beliau mengadakan safar atau
sakit.
Kemudian anjuran berpuasa di bulan
Muharram ini lebih dikhususkan dan ditekankan hukumnya pada hari yang dikenal
dengan istilah Yaumul ‘Asyuro, yaitu pada tanggal sepuluh bulan Muharram
(‘asyuro). ‘Asyuro berasal dari kata ‘Asyarah yang berarti sepuluh. Pada hari
‘Asyuro ini, Rasulullah shallahu alaihi wasallam mengajarkan kepada umatnya
untuk melaksanakan satu bentuk ibadah dan ketundukan kepada Allah Ta’ala yaitu
ibadah puasa, yang kita kenal dengan puasa Asyuro.
Hadits-Hadits Disyariatkannya Puasa ‘Asyuro
Adapun hadis-hadis yang menjadi
dasar ibadah puasa tersebut banyak, kami akan sebutkan diantaranya dengan
pengklasifikasian sebagai berikut:
Kaum Yahudi juga berpuasa di hari
Asyuro bahkan menjadikannya sebagai Ied (hari raya)
عَنْ ابْنِ عَبَّاسٍ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُمَا قَالَ قَدِمَ النَّبِيُّ
صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ الْمَدِينَةَ فَرَأَى الْيَهُودَ تَصُومُ
يَوْمَ عَاشُورَاءَ فَقَالَ مَا هَذَا قَالُوا هَذَا يَوْمٌ صَالِحٌ هَذَا
يَوْمٌ نَجَّى اللَّهُ بَنِي إِسْرَائِيلَ مِنْ عَدُوِّهِمْ فَصَامَهُ مُوسَى قَالَ
فَأَنَا أَحَقُّ بِمُوسَى مِنْكُمْ فَصَامَهُ وَأَمَرَ بِصِيَامِهِ
Ibnu Abbas radhiyallohu anhuma
berkata : Ketika Rasulullah shallallohu alaihi wasallam. tiba di Madinah,
beliau melihat orang-orang Yahudi berpuasa pada hari ‘ Asyura, maka Beliau
bertanya : “Hari apa ini?. Mereka menjawab, “Ini adalah hari istimewa, karena
pada hari ini Allah menyelamatkan Bani Israil dari musuhnya, Karena itu Nabi
Musa berpuasa pada hari ini. Rasulullah shallallohu alaihi wasallam pun
bersabda, “Aku lebih berhak terhadap Musa daripada kalian“. Maka
beliau berpuasa dan memerintahkan sahabatnya untuk berpuasa di tahun yang akan
datang. [H.R. Bukhari dan Muslim]
Hadis lain menjelaskan:
عَنْ أَبِي مُوسَى رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ قَالَ كَانَ يَوْمُ
عَاشُورَاءَ يَوْمًا تُعَظِّمُهُ الْيَهُودُ وَتَتَّخِذُهُ عِيدًا فَقَالَ رَسُولُ
اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ صُومُوهُ أَنْتُمْ
Dari Abu Musa radhiyallohu anhu
berkata, “Hari ‘Asyuro adalah hari yang diagungkan oleh orang Yahudi dan mereka
menjadikannya sebagai hari raya, maka Rasulullah shallallohu alaihi wasallam
bersabda (kepada ummatnya), “Berpuasalah kalian (pada hari itu)” [HR.
Bukhari (1866) dan Muslim(1912), lafal hadits ini menurut periwayatan imam
Muslim)
Kaum Quraiys di zaman Jahiliyah
juga berpuasa Asyuro dan puasa ini diwajibkan atas kaum muslimin sebelum
kewajiban puasa Ramadhan
عَنْ عَائِشَةَ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهَا قَالَتْ كَانَ يَوْمُ
عَاشُورَاءَ تَصُومُهُ قُرَيْشٌ فِي الْجَاهِلِيَّةِ وَكَانَ رَسُولُ اللَّهِ
صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَصُومُهُ فَلَمَّا قَدِمَ الْمَدِينَةَ
صَامَهُ وَأَمَرَ بِصِيَامِهِ فَلَمَّا فُرِضَ رَمَضَانُ تَرَكَ يَوْمَ
عَاشُورَاءَ فَمَنْ شَاءَ صَامَهُ وَمَنْ شَاءَ تَرَكَهُ . متفق عليه.
Dari Aisyah radhiyallohu anha
berkata, Kaum Qurays pada masa Jahiliyyah juga berpuasa di hari ‘Asyuro dan
Rasulullah shallallohu alaihi wasallam juga berpuasa pada hari itu, ketika
beliau telah tiba di Medinah maka beliau tetap mengerjakannya dan memerintahkan
ummatnya untuk berpuasa. Setelah puasa Ramadhan telah diwajibkan beliau pun meninggalkan
(kewajiban) puasa ‘Asyuro, seraya bersabda, “Barangsiapa yang ingin berpuasa
maka silakan tetap berpuasa dan barangsiapa yang tidak ingin berpuasa maka
tidak mengapa” [ HR. Bukhari dan Muslim]
عن عَبْد اللَّهِ بْن عُمَرَ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُمَا أَنَّ أَهْلَ
الْجَاهِلِيَّةِ كَانُوا يَصُومُونَ يَوْمَ عَاشُورَاءَ وَأَنَّ
رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ صَامَهُ وَالْمُسْلِمُونَ
قَبْلَ أَنْ يُفْتَرَضَ رَمَضَانُ فَلَمَّا افْتُرِضَ رَمَضَانُ قَالَ
رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ إِنَّ عَاشُورَاءَ يَوْمٌ مِنْ
أَيَّامِ اللَّهِ فَمَنْ شَاءَ صَامَهُ وَمَنْ شَاءَ تَرَكَهُ (رواه مسلم)
Dari Abdullah bin Umar radhiyallohu
anhuma bahwa kaum Jahiliyah dulu berpuasa Asyuro dan Rasulullah shallallohu
alaihi wasallam serta kaum muslimin juga berpuasa sebelum diwajibkan puasa
Ramadhan, Rasulullah shallallohu alaihi wasallam bersabda, “Sesungguhnya
hari ‘Asyuro termasuk hari-hari Allah, barangsiapa ingin maka berpuasalah dan
siapa yang ingin meninggalkan maka boleh” [HR. Muslim]
Perhatian Rasulullah shallallohu
alaihi wa sallam dan para sahabat ridwanullohi alaihim ajmain yang begitu besar
terhadap puasa ‘Asyuro
عَنْ ابْنِ عَبَّاسٍ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُمَا قَالَ مَا رَأَيْتُ
النَّبِيَّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَتَحَرَّى صِيَامَ يَوْمٍ
فَضَّلَهُ عَلَى غَيْرِهِ إِلَّا هَذَا الْيَوْمَ يَوْمَ عَاشُورَاءَ وَهَذَا
الشَّهْرَ يَعْنِي شَهْرَ رَمَضَانَ
“Aku tidak pernah melihat
Rasulullah shallallohu alaihi wasallam, berupaya
keras untuk puasa pada suatu hari melebihi yang lainnya kecuali pada
hari ini, yaitu hari ‘Asyura dan bulan ini yaitu Ramadhan.” [H.R.
Bukhari dan Muslim]
عَنْ الرُّبَيِّعِ بِنْتِ مُعَوِّذِ بْنِ عَفْرَاءَ قَالَتْ أَرْسَلَ
رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ غَدَاةَ عَاشُورَاءَ إِلَى
قُرَى الْأَنْصَارِ الَّتِي حَوْلَ الْمَدِينَةِ مَنْ كَانَ أَصْبَحَ صَائِمًا
فَلْيُتِمَّ صَوْمَهُ وَمَنْ كَانَ أَصْبَحَ مُفْطِرًا فَلْيُتِمَّ بَقِيَّةَ
يَوْمِهِ فَكُنَّا بَعْدَ ذَلِكَ نَصُومُهُ وَنُصَوِّمُ صِبْيَانَنَا الصِّغَارَ
مِنْهُمْ إِنْ شَاءَ اللَّهُ وَنَذْهَبُ إِلَى الْمَسْجِدِ فَنَجْعَلُ لَهُمْ
اللُّعْبَةَ مِنْ الْعِهْنِ فَإِذَا بَكَى أَحَدُهُمْ عَلَى الطَّعَامِ
أَعْطَيْنَاهَا إِيَّاهُ عِنْدَ الْإِفْطَارِ
Dari Rubai’ bintu Mu’awwidz bin
‘Afra’ radhiyallohu ‘anha berkata, Nabi Muhammad shallallohu alaihi wasallam di
pagi hari Asyuro mengutus ke perkampungan kaum Anshar yang berada di sekitar
Medinah (pesan), “Barangsiapa yang tidak berpuasa hari itu hendaknya
menyempurnakan sisa waktu di hari itu dengan berpuasa dan barangsiapa yang
berpuasa maka hendaknya melanjutkan puasanya”. Rubai’ berkata, “Maka sejak
itu kami berpuasa pada hari ‘Asyuro dan menyuruh anak-anak kami berpuasa dan
kami buatkan untuk mereka permainan yang terbuat dari kapas lalu jika salah
seorang dari mereka menangis karena ingin makan maka kami berikan
kepadanya permainan tersebut hingga masuk waktu berbuka puasa” [ HR. Bukhari dan Muslim]
Keutamaan Puasa Asyuro
عَنْ أَبِي قَتَادَةَ رضي الله عنه أَنَّ النَّبِيَّ صَلَّى اللَّهُ
عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ صِيَامُ يَوْمِ عَاشُورَاءَ إِنِّي أَحْتَسِبُ
عَلَى اللَّهِ أَنْ يُكَفِّرَ السَّنَةَ الَّتِي قَبْلَهُ
Dari Abu Qatadah radhiyallohu anhu
bahwa Nabi Muhammad shallallohu alaihi wasallam bersabda, “Puasa hari
‘Asyuro aku berharap kepada Allah akan menghapuskan dosa tahun lalu” [ HR.
Tirmidzi (753), Ibnu Majah (1738) dan Ahmad(22024)]
a.
Bagi yang ingin berpuasa ‘Asyuro hendaknya berpuasa juga sehari sebelumnya
Ibnu Abbas radhiyallohu ‘anhuma
berkata : Ketika Rasulullah shallallohu alaihi wasallam berpuasa pada hari
‘Asyura dan memerintahkan kaum muslimin berpuasa, mereka (para shahabat) menyampaikan,
“Ya Rasulullah ini adalah hari yang diagungkan Yahudi dan Nasrani”. Maka
Rasulullah shallallohu alaihi wasallam pun bersabda:
فَإِذَا كَانَ الْعَامُ الْمُقْبِلُ إِنْ شَاءَ اللَّهُ صُمْنَا
الْيَوْمَ التَّاسِعَ قَالَ فَلَمْ يَأْتِ الْعَامُ الْمُقْبِلُ حَتَّى تُوُفِّيَ
رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ
“Jika tahun depan insya Allah
(kita bertemu kembali dengan bulan Muharram), kita akan berpuasa juga pada hari
kesembilan (tanggal sembilan).“
Akan tetapi belum tiba Muharram
tahun depan hingga Rasulullah shallallohu alaihi wasallam wafat di tahun
tersebut [ HR. Muslim (1134) ]
عَنْ ابْنِ عَبَّاسٍ أَنَّهُ قَالَ صُومُوا التَّاسِعَ وَالْعَاشِرَ
وَخَالِفُوا الْيَهُودَ
Ibnu Abbas radhiyallohu anhuma
beliau berkata, “Berpuasalah pada tanggal sembilan dan sepuluh Muharram,
berbedalah dengan orang Yahudi” [Diriwayatkan dengan sanad yang shohih
oleh Baihaqi di As Sunan Al Kubro (8665) dan Ath Thobari di Tahdzib Al
Aatsaar(1110)]
b. Hukum Berpuasa Sehari Sesudah ‘Asyuro (tanggal 11 Muharram)
Imam Ibnu Qoyyim dalam kitab Zaadul
Ma’aad setelah merinci dan menjelaskan riwayat-riwayat seputar puasa ‘Asyuro,
beliau menyimpulkan : Ada tiga tingkatan berpuasa ‘Asyuro: Urutan pertama;
dan ini yang paling sempurna adalah puasa tiga hari, yaitu puasa tanggal
sepuluh ditambah sehari sebelum dan sesudahnya (9,10,11). Urutan kedua;
puasa tanggal 9 dan 10. Inilah yang disebutkan dalam banyak hadits . Urutan
ketiga, puasa tanggal 10 saja. Kesimpulan Ibnul Qayyim di atas didasari
dengan sebuah hadits dari Ibnu Abbas radhiyallohu anhuma, Rasulullah
shallallohu alaihi wasallam. bersabda :
صُومُوا يَوْمَ عَاشُورَاءَ وَخَالِفُوا فِيهِ الْيَهُودَ صُومُوا
قَبْلَهُ يَوْمًا أَوْ بَعْدَهُ يَوْمًا
“Puasalah pada hari Asyuro, dan
berbedalah dengan Yahudi dalam masalah ini, berpuasalah sehari sebelumnya atau
sehari sesudahnya.“ [HR. Imam Ahmad(2047), Ibnu
Khuzaimah(2095) dan Baihaqi (8667)]
Namun hadits ini sanadnya lemah,
Asy Syaikh Al Albani rahimahulloh menyatakan, “Hadits ini sanadnya lemah karena
salah seorang perowinya yang bernama Muhammad bin Abdurrahman bin Abi
Laila jelek hafalannya, selain itu riwayatnya menyelisihi riwayat ‘Atho
bin Abi Rabah dan selainnya yang juga meriwayatkan dengan sanad yang shohih
bahwa ini adalah perkataan Ibnu Abbas radhiyallohu anhuma sebagaimana
yang disebutkan oleh Thahawi dan Baihaqi (9).
Dalam pandangan yang lain, hadist
yang lemah boleh dilaksanakan, hal ini dikarenakan untuk memperkuat keimanan
dan ketakwaan umat-Nya. Bereda dengan hadist yang menjelaskan tentang syari’at.
Maka hadist yang lemah tidak diperbolehkan untuk dijadikan sebagai landasan
atau dasar.
Namun demikian puasa sebanyak tiga
hari (9,10,dan 11 Muharram) dikuatkan oleh para ulama dengan dua alasan:
1) Sebagai
kehati-hatian, yaitu kemungkinan penetapan awal bulannya tidak tepat, maka
puasa tanggal sebelasnya akan dapat memastikan bahwa seseorang mendapatkan
puasa Tasu’a (tanggal 9) dan Asyuro (tanggal 10).
2) Dimasukkan
dalam puasa tiga hari pertengahan bulan (Ayyamul bidh).
Adapun puasa tanggal 9 dan 10, pensyariatannya
dinyatakan dalam hadis yang shahih, dimana Rasulullah shallallohu
alaihi wasallam pada akhir hidup beliau sudah merencanakan untuk puasa pada
tanggal 9, hanya saja beliau wafat sebelum melaksanakannya. Beliau juga telah
memerintahkan para shahabat untuk berpuasa pada tanggal 9 dan tanggal 10 agar
berbeda dengan ibadah orang-orang Yahudi.
Sedangkan puasa pada tanggal
sepuluh saja; sebagian ulama memakruhkannya, meskipun sebagian ulama yang lain
memandang tidak mengapa jika hanya berpuasa ‘Asyuro (tanggal 10) saja, wallohu
a’lam. Secara umum, hadits-hadis yang terkait dengan puasa Muharram menunjukkan
anjuran Rasulullah shallallohu alaihi wasallam untuk melakukan puasa, sekalipun
hukumnya tidak wajib tetapi sunnah muakkadah (sangat dianjurkan), dan tentunya
kita sepatutnya berusaha untuk menghidupkan sunnah yang telah banyak dilalaikan
oleh kaum muslimin.
0 komentar:
Posting Komentar